Pada
kesempatan ini rasanya hati dan pikiran saya tergerak untuk menulis
sedikit tulisan mengenai pendidikan di Jepang. Ada alasan yang sangat
luar biasa untuk hal ini, yaitu masalah pendidikan di Jepang khususnya
mengenai pendidikan Sekolah Dasar (SD) ini pernah ditanyakan oleh guru
sekaligus sahabat saya yang kemarin, tepatnya tanggal 28 September 2010
berpulang kepada yang kuasa untuk selama-lamanya karena suatu penyakit.
Mendengar kabar tersebut secara manusiawi sedih rasanya ditinggalkan dan
pikiran saya langsung teringat satu pertanyaan beliau yaitu bagaimana
pendidikan anak SD di Jepang?Sekaligus kalimat tersebut saya jadikan
judul tulisan ini.
Kira-kira 2 tahun yang lalu, tepatnya
pada waktu saya pulang kampung ke kota kelahiran saya di Indonesia
dan waktu bertemu dengan beliau, pertanyaan tersebut hanya saya jawab
yang jelas ada bedanya antara pendidikan anak-anak SD di Jepang dan di
Indonesia. Karena sambil berbicara macam-macam hal dan juga suasana
kangen-kangenan bersama teman-teman yang lain yang berada di tempat yang
sama, saya tidak bisa sharing dan menjelaskan tentang masalah tersebut
kepada beliau. Setelah beberapa hari saya kembali dan sampai Jepang
lagi saya mengirimkan lembaran-lembaran print-out kepada beliau dengan
pos yang menjelaskan tentang pertanyaan beliau tersebut. Tulisan ini
sekaligus saya persembahkan kepada beliau yang murah senyum dan yang
sampai akhir hidupnya masih setia dalam bidang pendidikan di Indonesia
tepatnya di Salatiga.
Guru sekaligus sahabat
saya tersebut mungkin menganggap saya sedikit banyak tahu tentang sistim
pendidikan di Jepang karena saya sebagai warga Indonesia yang tinggal
di Jepang dan memiliki anak yang sudah bersekolah di SD, dan mungkin
juga tentunya pernah berkunjung ke sekolah sang anak untuk berbagai
keperluan. Sepertinya dugaan beliau tidak keliru karena memang begitu
adanya. Sebetulnya beberapa hal yang ingin saya jelaskan kepadanya
diantaranya sebagai berikut.
Salah satu sekolah
dasar di sini pernah diberitakan dan diketahui memiliki luas lapang
terbuka 9,130 m2 (lebih luas dari lapang sepakbola) dari total luas
sekolah 18,150 m2. Lapang terbuka ini dimanfaatkan siswa dan guru
sekolah untuk pelajaran atletik, sepakbola, softball dan
olahraga/permainan lainnya. Keadaan ini jauh berbeda dengan kondisi
luas sekolah dasar di Indonesia pada umumnya yang tidak memiliki lapang
terbuka untuk berolahraga apalagi lapang olahraga tertutupnya. Tentang
luas sekolah anak saya mungkin tidak seluas sekolah tersebut di atas
tetapi memiliki sebuah lapangan sepakbola yang kadang dipakai untuk
bermain baseball dan juga mempunyai sebuah kolam renang yang cukup
besar.
Dengan
fasilitas dan kualitas guru yang sama di setiap Sekolah Dasar, maka
mutu siswa dapat dikatakan ’sama’. Kurikulum pendidikan Sekolah Dasar di
Jepang dan di Indonesia jauh berbeda. Untuk siswa SD kelas 1-3, bobot
kegiatan olahraga sangat besar, hampir tiap hari anak didik diberikan
mata pelajaran tersebut. Kegiatan akademiknya berlangsung dari pukul 8
pagi sampai 3 sore dengan diselingi istirahat dan makan siang bersama.
Tidak nampak adanya kantin dan jajanan kaki lima dipinggir luar pagar
sekolah seperti SD saya jaman dulu.
Hal
yang membedakan lagi yaitu masalah penanganan anak setelah pulang
sekolah jam 3 sore yang kedua orang tuanya bekerja sampai jam 5 sore
lebih seperti halnya saya. Masalah seperti ini ternyata pihak sekolah
atau formalnya pemerintah menyediakan suatu tempat dalam bentuk gedung
yang ada di dalam komplek sekolah dinamakan “gakudo” atau tempat bermain
dan belajar di dalam sekolah pada jam luar sekolah. Anak-anak yang
berada di gakudo ini akan pulang sendiri atau dijemput orang tuanya pada
jam yang orang tuanya bisa dan inginkan. Walaupun disediakan fasilitas
seperti ini tapi pihak orang tua murid harus membayar tersendiri
terutama untuk biaya makan dan pengasuh-pengasuhnya.
Dengan adanya fasilitas seperti ini saya sangat merasa tertolong karena
saya dan istri tetap bisa bekerja produktif pada jam kerja dan anak saya
bisa tetap belajar dan bermain dengan aman. Sering juga saya sharing
dengan teman-teman saya di Indonesia khususnya mereka yang mempunyai
anak kecil supaya Indonesia juga menolong para orang tua siswa untuk
tetap bekerja produktif dan memaksimalkan anak-anak supaya memanfaatkan
waktunya belajar dan bermain dengan sistem seperti ini. Singkatnya aman,
terkendali dan ada target jelas untuk mencapai suatu hasil.
Kegiatan
belajar siswa tidak hanya di dalam ruangan. Secara berkala mereka
melakukan kegiatan kunjungan ke tempat bersejarah dan lahan pertanian
atau perkebunan untuk belajar memetik teh, jeruk, menggali umbi-umbian
bahkan belajar menanam padi di sawah. Di lain waktu, siswa secara
berkelompok diajarkan cara menumpang kereta (densha) untuk
melatih kemandirian. Tentunya ada kegiatan wawancara kepada orang-orang
tertentu sebagai nara sumber dan kemudian siswa membuat
penelitian-penelian kecil untuk dipresentasikan di depan kelas.
Menjelang akhir semester orang tua siswa diundang ke sekolah dan bertemu
satu persatu dengan guru kelasnya. Guru kelas memberikan informasi
tentang aktivitas belajar anak kita, meliputi interaksi dengan teman
sekelasnya, teman dekatnya, keterampilannya, kemampuan menulis/bahasa
dan berhitungnya. Hal yang menarik bagi saya yaitu sewaktu diadakan
kegiatan “jugyousanka” atau orang tua siswa diperbolehkan ikut bersama
dengan anaknya di dalam ruang kelas untuk belajar dan berpartisipasi
selama jam pelajaran tertentu. Sebagai contoh, ada saat pelajaran
keterampilan, seperti membuat layang-layang, orang tua siswa diundang
masuk ke kelas dan bersama anak membuatnya untuk kemudian dimainkan
bersama-sama di lapang sekolah.Hal ini bertujuan dari pihak sekolah
menunjukkan sistem dan suasana pelajaran di kelas dan dari pihak orang
tua siswa dapat mengetahu sebenar-benarnya suasana di dalam kelas dan
kemampuan serta cara belajar dan sikap anaknya mengikuti pelajaran.
Peran
PTA atau Persatuan Orangtua siswa dan Guru dalam mendukung kegiatan
sekolah juga sangat besar. Misalnya, mereka membantu sekolah menggelar
menyukseskan kegiatan olahraga antar kelas (undokai) tiap musim
panas di lapangan sekolah, seperti yang baru saja saya alami minggu
yang lalu, 25 September 2010. Salah satu peran PTA adalah menjadi
panitia dan berperan aktif juga dalam kegiatan bersama anak di sekolah.
Ada beragam aktivitas fisik yang ditampilkan dalam kegiatan festival
ini. Sebagaimana yang dimaksudkan oleh kata Undokai itu sendiri, maka
semua kegiatan dilakukan dalam kelompok. Baik itu kelompok anak dengan
anak, orang tua dengan orang tua, maupun orang tua dengan anak.
Selain kegembiraan dan kebersamaan, Undokai juga dapat digunakan oleh
orang tua untuk melihat capaian anak selama belajar di sekolah, karena
kegiatan yang ditampilkan dibedakan atas kelompok umur dengan tingkat
kesulitan yang berbeda. Pihak sekolah menekankan bahwa tidaklah penting
siapa yang menang atau kalah yang lebih penting adalah semua orang telah
berusaha memberikan yang terbaik dalam penampilannya dan merasakan
kegembiraan bersama.
Pertunjukkan seni tidak luput ditampilkan oleh seluruh siswa, dan
ditonton oleh orang tua yang diundang pihak sekolah. Sebelum perlombaan
dan pertunjukkan diselenggarakan, siswa berlatih hampir tiga bulan
sebelumnya. Semua aktivitas anak di sekolah dan keterlibatan orang tua
di dalamnya memberi kesan tersendiri, terutama bagi warga asing di
Jepang, yang mungkin tidak bisa didapatkan saat di negaranya sendiri.
Masih teringat saya akan awal-awal anak saya berkegiatan seni ini. Saya
bersama-sama orang tua murid yang lain menyaksikan pentas drama
danpentas musik anak saya dengan penuh keharuan, karena baik murid
maupun guru sama-sama menampakkan keseriusan dan sangat senang dengan
kegiatan tersebut.
Berkaca pada pengalaman di atas, untuk pendidikan anak tingkat dasar,
seyogyanya kegiatan akademik Sekolah Dasar jangan hanya difokuskan pada
olah pikir saja namun harus diseimbangkan dengan olahraga dan jiwanya.
Jiwa anak-anak harus dibangkitkan supaya bersemangat tiap hari
menghadapi kehidupannya dan masa depannya.
Saya mengamati saat ini Departemen Pendidikan Nasional RI kabarnya
memiliki alokasi anggaran pendidikan yang besar. Kita berharap sektor
pendidikan dasar (TK-SD-SMP) akan mendapat alokasi dana terbesar,
sehingga setiap sekolah nantinya akan memiliki fasilitas dan kualitas
guru yang merata seperti halnya model pendidikan dasar di
Jepang. Bukankan dengan memperhatikan pendidikan anak-anak akan membawa
masa depan bangsa yang lebih baik?
Dan
juga semoga di waktu yang akan datang tidak terdengar lagi bangunan
Sekolah Dasar di Indonesia roboh satu persatu akibat kualitas bangunan
yang rendah, walaupun sebenarnya jika pemerintah serius dan berpikir
bisa pasti akan bisa mengatur semua itu. Semua hanya dengan usaha dan
keseriusan.
Sebenarya untuk mengulas bagaimana pendidikan SD di Jepang tidak cukup
sampai di sini. Masih banyak yang ingin saya tulis tapi setidaknya
dengan gambaran-gambaran secara umum yang telah saya tulis diatas bisa
membuat kita semua paham dan khususnya saya telah menyampaikan apa yang
harusnya saya sampaikan kepada guru sekaligus sahabat sejati saya yang
telah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Selamat jalan
pahlawan tanpa tanda jasaku. Semoga kau bahagia di alamNya dan bekas
murid-muridmu akan meneruskan cita-citamu dan terimakasih atas semua
ilmu yang telah kau berikan kepada kami.
dikutif dari:http://edukasi.kompasiana.com By. http://murifa-cell.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tinggalkan Komentar Demi Kemajuan Kami